14 Februari 2015

Belajar dan Pembelajaran "Pengertian Belajar dan Pembelajaran"

Pengertian Belajar dan Pembelajaran
Resume
Di ajukan dalam rangka melengkapi tugas individu
M.K  Belajar dan Pembelajaran



                                                                    



OLEH  :

DEWI WAHYUNI  (1204501)




JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS IlMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
Pertemuan ke 2
Pengertian Belajar dan Pembelajaran Menurut Beberapa Teori
A.    Behavioristik
Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakan oleh beberapa pakar psikologi behavioristik yang di kenal dengan S-R Psikologis. Mereka berpendapat tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran  atau penguatan dari lingkungan. Perkembangan teori ini dipelopori oleh Thorndike, Ivan Pavlov, Watson, dan Guthrie.
Jadi belajar menurut teori ini adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dengan respon atau lebih tepat perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Meskipun semua penganut ini setuju dalam premis dasar namun mereka beebeda pendapat dalam beberapa hal penting. Berikut beberapa hasil karya penganut aliran behavioristik:
a.       Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.



b.      Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
c.       Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
d.      Edwim Guthrie
      Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
e.       B.F Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000).
Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
B.     Kognitif
Belajar kognitif memandang belajar sebagai proses memfungsikan unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal berfikir, yakni proses pengolahan informasi.Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Teori belajar kognitif ini memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.
 menurut aliran Kognitif ini tingkah laku individu senantiasa didasarkan ke-pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi, di dalam situasi belajar individu harus terlibat langsung yang pada akhirnya ini akan memperoleh insight untuk memecahkan masalah. Para penganut aliran kognitif ini adalah Piaget , Ausubel dan Bruner.
a.       Jean Piaget
Menurut Jean Piaget proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahap yakni asimilasi, akomudasi, equilibrasi (penyambungan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru, kestruktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Equalibrasi adalah penyesuaian berkesenam-bungan antara asimilasi dengan akomodasi. Suatu contoh, seorang siswa yang sdah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses Pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) disebut proses asimilasi, jika siswa diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut terjadi dalam situasi yang baru dan spesifik.
Agar siswa tersebut dapat berkembang dan menambah ilmunya, harus tetap menjaga stabilitas mental dalam dirinya diperlukan proses penyeimbangan, proses inilah yang disebut equalibrasi. Proses penyeimbangan antara “dunia luar” dengan “dunia dalam” tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat–sendat dan berjalan tak teratur (Dis Organizet).
b.      Ausubel
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan balajar (Advance Organizeis), didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa, pengatur kemajuan balajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ausubel percaya bahwa “advance Organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat yakni :
1.      dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2.      dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari olah siswa “saat itu” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa sedemikian rupa sehingga
3.      mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pelajaran harus sangat baik, hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif “yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin, tepat memiliki logika berfikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi meteri itu kedalam struktur urutan logis serta mudah dipahami.
c.       Bruner
Bruner mengusulkan teorinya disebut Free Discovery Learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh – contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebanaran umum, untuk memahami konsep “kejujuran” misalnya siswa tidak pertama- tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh konkrit tentang kejujuran, dan dari contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
C.    Gestalt
Tokoh Psikologi Gestalt adalah Wertheimer, Kohler, Kooffka. Wertheimer dengan gejala “phi-phenomenom-nya” merupakan penemuan yang penting, oleh karena melahirkan gejala penghayatan yang berbeda dengan unsur-unsur yang membentuknya. Gejala tersebut tidak dapat dijelaskan melalui analisis atas unsur-unsur, meskipun hasil gejala tersebut adalah dari unsur-unsur bagian tersebut. Jadi penghayatan psikologis adalah hasil bentukan dari unsur-unsur pengindraan, ia berbeda antar pengalaman phenomenologis dengan pengalaman pengindraan yang membentuknya. Gestalt mengatakan bahwa organisme menambahkan sesuatu pada penghayatan yang tidak terdapat didalam pengindraannya, maka sesuatu adalah organisme.
Dari sumber lain dengan gaya bahasa yang berbeda dapat dibaca pendapat gestalt sebagai berikut, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah.
Menurut gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan- hubungan, antara bagian atau keseluruhan, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan jajaran.
D.    Humanistik
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri.Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asmilasi bermakna.Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Teori humanstik berpendapat bahwa belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat elektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini elektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yatu memanusiakan manusia. Banyak tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya, honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam siswa, Hubemas dengan “Tiga macam tipe belajar”nya, serta Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya.
a.       Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai ( dipelajari ) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut:
1.      Kognitif
Kognitif terdiri dari tiga tingkatan:
ü  Pengetahuan ( mengingat, menghafal )
ü   Pemahaman ( menginterpretasikan );
ü  Aplikasi ( menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah );
ü  Analisis ( menjabarkan suatu konsep );
ü  Sintesis ( menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
ü  Evaluasi ( membandingkan ide, nilai, metode, dsb ).
2.      Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
ü  Peniruan ( menirukan gerak );
ü  Penggunaan ( menggunakan konsep untuk melakukan gerak );
ü  Ketepatan ( melakukan gerak dengan benar );
ü  Perangkaian ( melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar );
ü  Naturalisasi ( melakukan gerak secara wajar ).
3.          Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
ü  Pengenalan ( ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu );
ü  Merespon ( aktif berpartisipasi );
ü  Penghargaan ( menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);
ü  Pengorganisasian ( menghubung - hubungkan nilai-nilai yang dipercayai );
ü  Pengalaman ( menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup ).
b.      Kolb
Sementara itu, Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu:
1.      Pengalaman konkret
Pada tahap ini seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian.Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
2.      Pengalaman aktif dan reflektif
Siswa lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
3.        Konseptualisasi
Siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum ( generalisasi ) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
4.      Eksperimentasi aktif
Siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “ asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
c.       Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford menggolongkan siswa menjadi empat tipe, yakni:
1.      Aktivis
Ciri dari siswa ini adalah suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru dan cenderung berpikiran terbuka serta mudah diajak berdialog.Namun, siswa seperti ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu.Dalam belajar mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming atau problem solving.Akan tetapi mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang perlu waktu lama dalam implementasi.
2.      Reflektor
Siswa tipe ini cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah sehingga dalam mengambil keputusan mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruknya.
3.      Teoris
Siswa tipe ini biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.Berpikir rasional adalah sangat penting.Dan mereka cenderung sangat skeptis dan tidak suka hal-hal yang spekulatif.
4.      Pragmatis
Siswa pada tipe ini menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Bagi mereka teori memang penting, tapi tidak akan berguna jika tidak dipraktikkan.
d.      Habermas
Menurutnya belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dari lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini Habermas membagi belajar menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Belajar teknis ( technical learning )
Dalam belajar teknis siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
2.      Belajar praktis ( practical learning )
Pada belajar ini siswa juga belajar berinteraksi, tetapi yang lebih dipentingkan adalah interaksi dia dengan orang-orang di sekelilingnya.
3.      Belajar emansipatoris ( emancipatory learning)
Pada belajar ini siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan ( transformasi ) kultural dari suatu lingkungan. Inilah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
E.     Sosial
Teori Belajar Sosial (Social Learning) oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu – individu lain yang menjadi model. Bandura menyatakan bahwa orang belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut.
Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Selama jalannya Observational Learning, seseorang mencoba melakukan tingkah laku yang dilihatnya dan reinforcement/ punishment berfungsi sebagai sumber informasi bagi seseorang mengenai tingkah laku mereka.
Teori belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan).
F.     Konstruktivistik
Menurut cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses untuk membanguin pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Evaluasi pembelajaran. Dalam teori kontruktivisme, evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru. Evaluasi menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran.
Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Menurut teori ini pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas yang dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget yang berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi pengetahuan. Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a.      Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.      Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup.
c.       Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih berorientasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar
e.       Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan siswa.
f.       Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori konstruktivisme belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman sebagai hasil interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi, alam, maupun realitas sosial.
G.    Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relative paling baru dibandingkan dengan teori-teori lainnya. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Sekilas, teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik, namun yang lebih penting lagi adalah “system informasi” yang diproses itu. Informasi inilah yang akan menentukan proses.
Pendapat lain dari teori sibernetik ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajar yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa. Maka, sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama itu mungkin akan dipelajari siswa yang lain melalui proses belajar yang lain.
Menurut teori sibernetik tidak ada cara belajar yang sempurna untuk segala kondisi karena cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi. Ada tiga tahap proses pengolahan informasi dalam ingatan, yakni dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval).
Tahap sibernetik sebagai teori belajar sering kali dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang akan dipelajari, sementara itu bagaimana proses belajar berlangsung dalam diri individu sangat ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah informasi, pemikir, dan pencipta. Berdasarkan itu, maka diasumsikan bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi. Pendekatan yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan beberapa hal seperti ingatan jangka pendek (short term memory), ingatan jangka panjang (long term memory), dan sebagainya, yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan informasi. Namun, menurut teori sibernetik ini, agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu dipahami, tetapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itu pun perlu diketahui.
Konsepsi Landa dengan model pendekatannya yang disebut algoritmik dan heuristik mengatakan bahwa belajar algoritmik menuntut siswa untuk berpikir skematis, tahap demi tahap, linear, menuju pada target tujuan tertentu, sedangkan belajar heuristik menuntut siswa untuk berpikir devergen, menyebar ke beberapa target tujuan sekaligus. Pask dan Scott membagi siswa menjadi tipe menyeluruh/wholist, dan tipe serial/serialist. Mereka mengatakan bahwa siswa yang bertipe wholist cendrung mempelajari sesuatu yang paling umum menuju ke hal-hal yang lebih khusus, sedangkan siswa yang bertipe serialist dalam berpikir akan menggunakan cara setahap demi setahap atau linear.


Sumber :
Nirwana, Herman dkk. 2008. Bahan Ajar Belajar dan Pembelajaran. Padang: UNP Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar