Resume
Di ajukan dalam rangka melengkapi tugas individu
M.K Belajar
dan Pembelajaran
OLEH :
DEWI WAHYUNI
(1204501)
JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS IlMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
Pertemuan ke 2
Pengertian
Belajar dan Pembelajaran Menurut Beberapa Teori
A. Behavioristik
Beberapa teori
belajar dari psikologi behavioristik dikemukakan oleh beberapa pakar psikologi
behavioristik yang di kenal dengan S-R
Psikologis. Mereka berpendapat tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh
ganjaran atau penguatan dari lingkungan.
Perkembangan teori ini dipelopori oleh Thorndike, Ivan Pavlov, Watson, dan
Guthrie.
Jadi belajar
menurut teori ini adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dengan respon atau lebih tepat perubahan yang dialami
siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara baru sebagai
hasil interaksi antara stimulus dan respon. Meskipun semua penganut ini setuju
dalam premis dasar namun mereka beebeda pendapat dalam beberapa hal penting.
Berikut beberapa hasil karya penganut aliran behavioristik:
a.
Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi
antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak
dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike
yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler,
1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat
respon.
b.
Watson
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika
atau Biologi
yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris semata, yaitu sejauh mana
dapat diamati dan diukur.
c. Clark
Hull
Clark
Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin.
Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin
dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,
tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
d. Edwim
Guthrie
Azas
belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung
akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan
sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta
didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang.
e. B.F
Skinner
Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya.
Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000).
Oleh
karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami
hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang
mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
B. Kognitif
Belajar kognitif memandang belajar sebagai proses memfungsikan unsur-unsur
kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus
yang datang dari luar. Aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada
proses internal berfikir, yakni proses pengolahan informasi.Teori belajar
kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi
dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53)
bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat
secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai
akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu
perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan
nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Teori
belajar kognitif ini memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat
mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan
maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama
dan utama yang perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta
didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauh
mana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal
melalui sentuhan proses pendidikan.
menurut
aliran Kognitif ini tingkah laku individu senantiasa didasarkan ke-pada
kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku
itu terjadi, di dalam situasi belajar individu harus terlibat langsung yang
pada akhirnya ini akan memperoleh insight untuk memecahkan masalah. Para
penganut aliran kognitif ini adalah Piaget , Ausubel dan Bruner.
a.
Jean Piaget
Menurut Jean Piaget proses belajar sebenarnya terdiri
dari tiga tahap yakni asimilasi, akomudasi, equilibrasi (penyambungan). Proses
asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru, kestruktur
kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian
struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Equalibrasi adalah penyesuaian
berkesenam-bungan antara asimilasi dengan akomodasi. Suatu contoh, seorang
siswa yang sdah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan
prinsip perkalian, maka proses Pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang
sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru)
disebut proses asimilasi, jika siswa diberi sebuah soal perkalian, maka situasi
ini disebut akomodasi, ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian
tersebut terjadi dalam situasi yang baru dan spesifik.
Agar siswa tersebut dapat berkembang dan menambah ilmunya, harus tetap menjaga stabilitas mental dalam dirinya diperlukan proses penyeimbangan, proses inilah yang disebut equalibrasi. Proses penyeimbangan antara “dunia luar” dengan “dunia dalam” tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat–sendat dan berjalan tak teratur (Dis Organizet).
Agar siswa tersebut dapat berkembang dan menambah ilmunya, harus tetap menjaga stabilitas mental dalam dirinya diperlukan proses penyeimbangan, proses inilah yang disebut equalibrasi. Proses penyeimbangan antara “dunia luar” dengan “dunia dalam” tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat–sendat dan berjalan tak teratur (Dis Organizet).
b.
Ausubel
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika apa
yang disebut “pengatur kemajuan balajar (Advance Organizeis), didefenisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa, pengatur kemajuan balajar
adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran
yang akan diajarkan kepada siswa. Ausubel percaya bahwa “advance Organizers”
dapat memberikan tiga macam manfaat yakni :
1.
dapat menyediakan suatu
kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2.
dapat berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari olah siswa “saat
itu” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa sedemikian rupa sehingga
3.
mampu membantu siswa untuk
memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pelajaran harus sangat baik, hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif “yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin, tepat memiliki logika berfikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi meteri itu kedalam struktur urutan logis serta mudah dipahami.
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pelajaran harus sangat baik, hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif “yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin, tepat memiliki logika berfikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi meteri itu kedalam struktur urutan logis serta mudah dipahami.
c.
Bruner
Bruner mengusulkan teorinya disebut Free Discovery
Learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan
(termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh – contoh yang
menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa
dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebanaran umum, untuk memahami
konsep “kejujuran” misalnya siswa tidak pertama- tama menghafal definisi kata
itu, tetapi mempelajari contoh konkrit tentang kejujuran, dan dari contoh
itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
C.
Gestalt
Tokoh Psikologi Gestalt adalah Wertheimer, Kohler,
Kooffka. Wertheimer dengan gejala “phi-phenomenom-nya” merupakan penemuan yang
penting, oleh karena melahirkan gejala penghayatan yang berbeda dengan unsur-unsur
yang membentuknya. Gejala tersebut tidak dapat dijelaskan melalui analisis atas
unsur-unsur, meskipun hasil gejala tersebut adalah dari unsur-unsur bagian
tersebut. Jadi penghayatan psikologis adalah hasil bentukan dari unsur-unsur
pengindraan, ia berbeda antar pengalaman phenomenologis dengan pengalaman
pengindraan yang membentuknya. Gestalt mengatakan bahwa organisme menambahkan
sesuatu pada penghayatan yang tidak terdapat didalam pengindraannya, maka
sesuatu adalah organisme.
Dari sumber lain dengan gaya bahasa yang berbeda
dapat dibaca pendapat gestalt sebagai berikut, bahwa pengalaman itu berstruktur
yang terbentuk dalam suatu keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam
bagian-bagian yang terpisah.
Menurut gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan- hubungan, antara bagian atau keseluruhan, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan jajaran.
Menurut gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan- hubungan, antara bagian atau keseluruhan, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan jajaran.
D.
Humanistik
Menurut
teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan
memanusiakan manusia itu sendiri.Oleh sebab itu, teori belajar humanistik
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar.
Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses
belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta
tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain,
teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling
ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti
yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam
pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan
belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna
atau “Meaningful learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif
ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asmilasi bermakna.Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya. Teori humanstik berpendapat bahwa belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar
secara optimal.
Hal
ini menjadikan teori humanistik bersifat elektik. Tidak dapat disangkal lagi
bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, akan ada kebaikan dan
ada pula kelemahannya. Dalam arti ini elektisisme bukanlah suatu sistem dengan
membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya.
Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai,
yatu memanusiakan manusia. Banyak tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya
adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya, honey dan Mumford
dengan pembagian tentang macam-macam siswa, Hubemas dengan “Tiga macam tipe
belajar”nya, serta Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi
Bloom”nya.
a. Bloom dan Krathwohl
Dalam
hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai ( dipelajari
) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut:
1. Kognitif
Kognitif terdiri dari tiga
tingkatan:
ü Pengetahuan ( mengingat, menghafal )
ü Pemahaman ( menginterpretasikan );
ü Aplikasi ( menggunakan konsep untuk
memecahkan suatu masalah );
ü Analisis ( menjabarkan suatu konsep
);
ü Sintesis ( menggabungkan
bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
ü Evaluasi ( membandingkan ide, nilai,
metode, dsb ).
2. Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima
tingkatan, yaitu:
ü Peniruan ( menirukan gerak );
ü Penggunaan ( menggunakan konsep
untuk melakukan gerak );
ü Ketepatan ( melakukan gerak dengan
benar );
ü Perangkaian ( melakukan beberapa
gerakan sekaligus dengan benar );
ü Naturalisasi ( melakukan gerak
secara wajar ).
3.
Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan,
yaitu:
ü Pengenalan ( ingin menerima, sadar
akan adanya sesuatu );
ü Merespon ( aktif berpartisipasi );
ü Penghargaan ( menerima nilai-nilai,
setia kepada nilai-nilai tertentu);
ü Pengorganisasian ( menghubung -
hubungkan nilai-nilai yang dipercayai );
ü Pengalaman ( menjadikan nilai-nilai
sebagai bagian dari pola hidup ).
b. Kolb
Sementara
itu, Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu:
1. Pengalaman konkret
Pada tahap
ini seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian.Dia belum
mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.Dia pun belum mengerti
bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
2. Pengalaman aktif dan reflektif
Siswa
lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai
berusaha memikirkan dan memahaminya.
3. Konseptualisasi
Siswa
mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang sesuatu hal yang
pernah diamatinya. Pada tahap ini siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat
aturan-aturan umum ( generalisasi ) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun
tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
4. Eksperimentasi aktif
Siswa
sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia
matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “ asal-usul” sebuah rumus,
tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang
belum pernah ia temui sebelumnya.
c. Honey dan Mumford
Berdasarkan
teori Kolb ini, Honey dan Mumford menggolongkan siswa menjadi empat tipe,
yakni:
1. Aktivis
Ciri dari
siswa ini adalah suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru dan
cenderung berpikiran terbuka serta mudah diajak berdialog.Namun, siswa seperti
ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu.Dalam belajar mereka menyukai
metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming
atau problem solving.Akan tetapi mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal
yang perlu waktu lama dalam implementasi.
2. Reflektor
Siswa tipe
ini cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah sehingga dalam mengambil
keputusan mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruknya.
3. Teoris
Siswa tipe
ini biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat
atau penilaian yang sifatnya subjektif.Berpikir rasional adalah sangat
penting.Dan mereka cenderung sangat skeptis dan tidak suka hal-hal yang
spekulatif.
4. Pragmatis
Siswa pada
tipe ini menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Bagi
mereka teori memang penting, tapi tidak akan berguna jika tidak dipraktikkan.
d. Habermas
Menurutnya
belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dari lingkungan maupun dengan
sesama manusia. Dengan asumsi ini Habermas membagi belajar menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Belajar teknis ( technical
learning )
Dalam
belajar teknis siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya.
Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari
ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
2. Belajar praktis ( practical
learning )
Pada
belajar ini siswa juga belajar berinteraksi, tetapi yang lebih dipentingkan
adalah interaksi dia dengan orang-orang di sekelilingnya.
3. Belajar emansipatoris ( emancipatory
learning)
Pada
belajar ini siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin
tentang perubahan ( transformasi ) kultural dari suatu lingkungan. Inilah
tujuan pendidikan yang paling tinggi.
E.
Sosial
Teori Belajar
Sosial (Social Learning) oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat
memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi
dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari
hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh
individu – individu lain yang menjadi model. Bandura
menyatakan bahwa orang belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa
adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterima. Kita bisa meniru
beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat
yang ditimbulkannya atas model tersebut.
Proses belajar
semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran
melalui pengamatan. Selama jalannya Observational Learning, seseorang mencoba
melakukan tingkah laku yang dilihatnya dan reinforcement/ punishment berfungsi
sebagai sumber informasi bagi seseorang mengenai tingkah laku mereka.
Teori belajar
sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui
proses pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan
terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap
mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori
belajar sosial adalah modeling (peniruan).
F.
Konstruktivistik
Menurut
cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses untuk membanguin
pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat
memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada
di dalam masyarakat. Evaluasi pembelajaran. Dalam teori kontruktivisme,
evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami
materi dari guru. Evaluasi menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan
kelebihan proses pembelajaran.
Konstruktivisme
sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan pendekatan
paedagogi yang mempromosikan learning by doing. Teori ini memberikan keaktifan
terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Menurut teori ini pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi
manusia atas realitas yang dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini
mendapat pengaruh dari disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget
yang berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya
pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa
mengkostruksi pengetahuan. Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai
berikut:
a.
Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari
apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini
dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.
Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung
terus-menerus seumur hidup.
c.
Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih
berorientasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara membentuk
pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan
perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan
pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata
seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi
disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar
e.
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan
dunia fisik dan lingkungan siswa.
f.
Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah
diketahuinya.
Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori
konstruktivisme belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengabstraksi pengalaman sebagai hasil interaksi antara siswa dengan realitas
baik realitas pribadi, alam, maupun realitas sosial.
G.
Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar
yang relative paling baru dibandingkan dengan teori-teori lainnya. Teori ini berkembang
sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori
sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Sekilas, teori ini mempunyai
kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting
dalam teori sibernetik, namun yang lebih penting lagi adalah “system informasi”
yang diproses itu. Informasi inilah yang akan menentukan proses.
Pendapat lain dari teori sibernetik ini adalah bahwa
tidak ada satu proses belajar yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk
semua siswa. Maka, sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa
dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama itu mungkin akan
dipelajari siswa yang lain melalui proses belajar yang lain.
Menurut teori sibernetik tidak ada cara belajar yang
sempurna untuk segala kondisi karena cara belajar sangat ditentukan oleh sistem
informasi. Ada tiga tahap proses pengolahan informasi dalam ingatan, yakni
dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan
penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan
kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval).
Tahap sibernetik sebagai teori belajar sering kali
dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang akan dipelajari,
sementara itu bagaimana proses belajar berlangsung dalam diri individu sangat
ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari. Teori ini memandang manusia
sebagai pengolah informasi, pemikir, dan pencipta. Berdasarkan itu, maka
diasumsikan bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu mengolah, menyimpan, dan
mengorganisasikan informasi. Pendekatan yang berorientasi pada pengelolaan
informasi menekankan beberapa hal seperti ingatan jangka pendek (short
term memory), ingatan jangka panjang (long term memory), dan
sebagainya, yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam
proses pengolahan informasi. Namun, menurut teori sibernetik ini, agar proses
belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu
dipahami, tetapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itu pun perlu
diketahui.
Konsepsi Landa
dengan model pendekatannya yang disebut algoritmik dan heuristik mengatakan
bahwa belajar algoritmik menuntut siswa untuk berpikir skematis, tahap demi
tahap, linear, menuju pada target tujuan tertentu, sedangkan belajar heuristik
menuntut siswa untuk berpikir devergen, menyebar ke beberapa target tujuan
sekaligus. Pask dan Scott membagi siswa menjadi tipe menyeluruh/wholist, dan tipe serial/serialist. Mereka
mengatakan bahwa siswa yang bertipe
wholist cendrung mempelajari sesuatu yang paling umum menuju ke hal-hal
yang lebih khusus, sedangkan siswa yang bertipe serialist dalam berpikir akan menggunakan cara setahap demi setahap
atau linear.
Sumber
:
Nirwana,
Herman dkk. 2008. Bahan Ajar Belajar dan Pembelajaran. Padang: UNP Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar