Greget Moment
Sabtu, sekitar jam 09:00, aku dan teman ku
sebut saja namanya Buyuang, bergegas menuju stasiun kereta api di dekat kampus
untuk membooking tiket kereta api menuju Pariaman. Tujuan kami kali ini adalah
untuk merefres otak kami yang error dan tegang sesudah menghadapi ujian tengah
semester. Kami yang berangkat berjumlah sekitar 34 orang. Setelah tiket
ditangan, kami pun harus menunggu dan menunggu, akhirnya tiba waktunya kami
untuk mengucapkan selamat tinggal pada kota Padang, sekitar jam 09:20 WIB.
Didalam kereta api tenyata tak sesuai
dengan prediksi. Sebagian dari kami harus berdiri, meskipun dalam keterangan
tiket yang kami punya kami mendapat keterangan tempat duduk. Tapi kami tidak
terlalu memusingkan hal itu. Status sebagai mahasiswa dan generasi muda yang
masih punya banyak tenaga, kami mengalah kapada ibu-ibu dan bapak-bapak yang
duduk dikursi kami. Tapi untuk yang sebaya kami tidak toleran, kami gusur saja
mereka. #haaha. Ada juga yang duduk bertiga di kursi yang berdaya tamping 2
orang, tapi aku tak melihat mereka merasa risih maupun kesempitan malah
sebaliknya, wajah mereka begitu bahagia duduk berdempet-dempetan seperti itu.
Tiba-tiba suasana sedikit menjadi tegang, ketika tiba waktunya pengecekan
tiket, salah seorang dari kami kehilangan tiketnya, dan itu membuat sebagian
dari kami menjadi panik, Karena menurut peraturan yang berlaku jika penumpang
tidak mempunyai tiket akan di turunkan di pemberhentian selanjutnya. Tapi,
syukurlah, setelah kami menjelaskan kejadian sebenarnya, salah seorang dari
kami tersebut diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan.
Satu setengah jam kemudian, kami sampai di
Pariaman. Baru turun dari kereta kami disambut oleh kata-kata “pai ka pulau
diak? Pulau angso duo atau pulau kasiak? 35 ribu per urangnyo diak?”. Berisik.
Ada belasan orang yang menawarkan seperti itu dengan suara lantang di dekat
telinga ku. Kami tak begitu menghiraukanya, karena kami belum membuat
kesepakatan untuk pergi kepulau tersebut atau hanya akan hilir-mudik saja di
sepanjang Pantai Gandoriah.
Setelah banyak pertimbangan , perundingan,
dan ketegangan-ketegangan urat leher yang cukup alot, akhirnya mayoritas dari
kami memvonis untuk pergi kepulau. Dengan sangat terpaksa yang minoritas harus
nurut. Yang ngak punya uang silahkan pinjam, yang phobia laut tinggalkan dulu
phobianya itu. Pokoknya semuanya harus ikut! Tanpa terkecuali, demi membuktikan
solidaritas, kekompakkan, kepedulian dan kebersamaan.
“Pergi ke pulau dek?”, Tanya seorang
ibu-ibu yang sepertinya berkecimpung didunia usaha perjalanan ke pulau wisata
tersebut.
“iya buk, berapa ongkosnya buk?” jawab
salah seorang dari kami.
“35 ribu dek, itu sudah termasuk
asuransi”, jelas ibu tersebut.
“ngak bias kurang buk?, jumlah kami banyak
buk! Kurangilah sedikit buk!”. Sela dari rekan kami yang lain.
Terjadi tawar menawar yang panas disini,
hingga akhirnya kami sepakat berangkat ke Pulau Angso Duo dengan ongkos Rp.
700.000,-. Setengah demi setengah dari kamipun pergi berlayar kepulau yang kami
tuju.
Sampailah kami di tujuan, Pulau Angso Duo.
Airnya jenih, berpasir putih, ditambah pemandangan alam yang mengugah mata yang
menunjukan kebesaran Tuhan. Ada yang baru sampai langsung berenang, ada juga
yang lansung makan, banyak juga yang langsung berfoto di setiap sudut pulau,
tak sedikit juga yang termenung dan terdiam, selain itu ada juga yang langsung
berkeliling pulau dengan kegirangan. Pokoknya lengkaplah!.
Tak terasa waktu mengharuskan kami untuk
segera pulang. Kami menunggu kapal yang akan mengantarkan kembali ke bibir
Pantai Gandoriah. Awalnya kami menunggu dengan tenang dan wajah yang girang.
Kami menunggu sambil bernyanyi-nyanyi di iringi suara gitar. Mulai dari lagu
pop, dangdut, rock sampai religi kami nyanyikan. Dari lagu anak-anak, remaja
hingga tua, dari penyanyinya yang sudah tiada, masih hidup, bahkan yang belum
lahirpun sudah kami dendangkan. Dari lagu yang tadinya single hingga sudah
menjadi album pun sudah kami lagukan. Tapi, kapal yang ditunggu-tunggupu belum
juga datang. Kami harus bergegas! Karena kami akan balik ke Padang dengan
dengan mnggunkan K.A kembali. Yang tentunya akan berangkat sesuai dengan
jadwalnya dan tak akan sudi menunggu penumpangnya. Kami menunggu dan menunggu,
panas-panasan di tepi pantai berpasir putih itu. Silih berganti kapal yang
datang, tapi tak kunjung jua kapal yang kami tumpangi tadi yang berlabuh.
Kemudian wajah kami yang girang tadi,
perlahan berubah menjadi tegang. Waktu terus berjalan. Aku teramat emosi, panic
dan ngak bisa tenang. Bagiku jam berapapun aku pulang tak masalah, karena aku
orang bumi pariaman. Tapi mereka? Teman-teman ku? Mereka akan menggocek saku
lebih dalam jika tidak menggunakan K.A balik ke Padang. Dan aku juga ngak bisa
bayangin jika teman-temanku ini dengan sangat terpaksa harus mengungsi ke
rumahku. Itu opsi terakhir yang ada di pikiran ku. Aku merasa emosi bahkan
bibir kupun tak sanggup untuk tersenyum.
Hingga akhirnya,,
Yang ditunggu-tunggu datang. Pada jam
15:40 WIB, kapal kamipun menjatuhkan jangkarnya. Kami berebutan naik ke kapal.
Hingga membuat muatanya penuh dan demi keselamatan, beberapa orang harus turun.
Dan sayangnya orang lain dari rombongan kami tidak mau mengalah!, mereka
berlagak tidak tau dan mereka bertahan duduk dengan tenang. Gua terkejut
seketika, ketika beberapa cowok dari rombongan kami memilih mengalah dan
memutuskan turun mununjukkan sikap kedewasaan mereka. Aku melihat jam.
Kira-kira terkejar ngak ya waktunya? Ketinggalan kereta ngak ya? Dalam pikiran
ku. Tanpa pikir panjang lagi aku memutuskan untuk ikut turun bersana rekan ku
lainya sebut saja namanya Sari. Alasan pertama aku dan Sari turun adalah kami
tau jalan pulang! Langkah kami ini diikuti oleh beberapa rekan cewek kami yang
lain. Dan dalam pikiran ku, biarlah
separo pulang dengan kereta dan separo lagi
pulang dengan bus. Aku mulai pesismis. Tapi ku ngak mau itu terjadi. Aku
masih berharap sama-sama pergi, sama-sama datang, sama-sama sakit, sama-sama
senang.
Kapal yang membawa sebagian dari kami yang
berjumlah sekitar 20-an itupun mengangkat jangkarya.
Aku tidak henti-hentinya melihat jam, aku
tak bisa tenang dan panic. Aku merasa orang yang paling bersalah jika
teman-teman ku yang masih tertinggal di pulau ini tidak bisa pulang dengan
kereta api bersama teman-teman ku yang lain yang sedang menuju bibir Pantai
Gandoriah. Sms bertubi-tubi datang, hp tak henti-hentinya berdering untuk
saling mengabari perkembangan terkini dari kami yang masih terdampar di Pulau
Angso Duo ini. Aku ngak tau apakah teman-teman yang bersama ku ini merasa resah
atau tidak.
“kami sudah sampai bro!” isi sms dari salah
seorang rekan kami.
“kalian langsung ke stasiun, infokan
kepada teman-teman yang ada disana, jangan tunggu kami di pantai! langsung ke
stasiun, ingat! Langsung ke stasiun!” isi balasan sms dariku atas instruksi
bujang dan teman-teman yang lain.
20 menit kemudian, sekitar jam 16:00 WIB.
Kapal yang sama datang menjemput kami. Kami hanya mempunyai waktu 20 menit
lagi, sebelum kereta berangkat. Kami bergegas naik. Tetapi diperlambat oleh
mereka yang berjalan sok imut dan sok kecantikan. Aku kesal! Padahal kami sudah
dikejar waktu. Aku kembali melihat jam, bahkan sertiap menit mataku tak
terlepas dari jarum jam. Serta hp ditangan ku yang selau bergetar, tanda ada
info dari teman-teman kami yang sudah di daratan.
“Kita gerbong satu! Langsung berlari ke stasiun!
Kami akan berusaha melobi petugas K.A , jika waktunya tidak cukup, kami akan
turun!” kira-kira beginilah kesimpulan dari semua sms dan semua info yang ku
terima. Nafas ku putus-putus. Aku berharap sampai di stasiun tepat waktu.
Belum berlabuh dengan sempurna kapal yang
kami tumpangi, pluit kereta api sudah terdengar beberapa kali. Kami hanya
mempunyai waktu 1 menit! 1 menit! sebelum kereta berangkat. Kami langsung
berhamburan turun. Lompat dari kapal sesegera mungkin. Tak tau apakah itu
dangkal atau dalam. Tak peduli nantinya
akan basah atau kering. Yang terpenting kami harus berlari secepat mungkin
kestasiun. Jatuh berdiri lagi. Bahkan rasa sakit dari kaki kami pun yang
berlari tanpa alaspun tak terasa. Kami berlari
secepat mungkin. Entah bagaimana ekspresi orang-orang sekitar rute yang
kami lalui. Kami tak peduli! Kami terus berlari dan berlari dengan heroik.
“cepat! Cepat!” suara masinis yang
berteriak sambil melambai-lambaikan tangan dari depan kemudi sembari
mengeluarkan sebagian badannya dari jendela. Kami meresponnya dengan berlari
lebih cepat.
“cepat! cepat! cepat!” semangat dari
teman-teman kami yang sudah duduk di dalam kereta, yang terlihat dari jendela
dengan kehisterisan mereka masing-masing.
“Cepat! cepat! cepat!!!!!!” seru petugas
K.A sambil membuka pintu kereta bersama seorang rekan kami yang menjadi
perwakilan untuk menyambut kedatangan kami.
Belum lurus tegak kami, belum teratur
detak jantung kami, kereta pun langsung jalan.
Yesssss…..kami berhasil!!!!! Tepat
waktu!!!!!!! Alhamdullillah,,,
Seiring berjalannya kereta api kegembiraan
kami pun pecah. Tiba-tiba seorang petugas K.A menghampiri ku dan berkata …
“kenapa kalian terlambat?” suara lantang
dan keras tertuju padaku.
“maaf pak, tadi kapalnya terlambat menjemput
kami.! Jadi ini bukan mutlak salah kami pak! Salah kapalnya! Lagi pula kami kan
ontime pak!” aku mencoba jelasin kenyataanya.
“kenapa kapal yang disalahkan?” lanjut
petugas K.A tersebut.
“Eh,, maksud saya salah orang yang bawa
kapalnya pak, kenapa saya yang dimarahi pak? Ampun pak! Belum lepas sesak nafas
saya ini pak, ditambah lagi bapak marah-marah tambah sesak nafas saya pak!
Sekali lagi maaf pak! Maaf!” kemudian petugas K.A itupun pergi berlalu. Aku tak
terlalu memasukkan kedalam hati kata-kata petugas K.A itu, karena aku merasa
bapak itu tidak terlalu serius dan hanya ingin memberikan peringatan kecil
kepada kami. Dan yang terpenting itu tidak membuat ku jera untuk naik kereta
api kembali.
Setelah
itu kami melanjutkan kegembiraan kami yang tertunda sesaat tadi. Sungguh luar
biasa. Sehingga rusuhlah gerbong yang kami penuhi serta gerbong tersebut
menjadi becek dan kotor sekali karena salah seorang rekan kami basah kuyup yang
menjadi bukti, betapa luar biasanya perjuang kami turun dari kapal dan berlari
sekuat tenaga menuju stasiun.
Dan kami pun sampai dirumah dan dikos dengan
selamat!.
Banyak rasa yang aku pribadi rasakan, ada
terharu karena kami berhasil pulang dengan penuh perjuangan, rasa bangga juga
karena mereka semua terkesan dalam jalan-jalan kali ini ke kampungku. Dan yang
paling penting adalah rasa solidaritas dan kekompakkan yang tak ternilai dengan
uang dan begitu indah ku rasakan.
Terima kasih atas kekompakkanya! Terima
kasih atas kunjunganya ke Pariaman, dan yang terakhir terima kasih untuk kapal
wisata yang terlambat menjemput kami, sehingga membuat akhir dari perjalanan
kami ini menjadi begitu #Greget. Dan terima kasih telah membacanya.. ^_^
wahhhhh, ini bener-bener greget bangeeettttttt!!!!
BalasHapusTOP MARKOTOP Dehhhh
makasi kak/bg admin.. hehe
BalasHapus