15 April 2015

Greget Moment

Greget Moment
By: FY

Sabtu, sekitar jam 09:00, aku dan teman ku sebut saja namanya Buyuang, bergegas menuju stasiun kereta api di dekat kampus untuk membooking tiket kereta api menuju Pariaman. Tujuan kami kali ini adalah untuk merefres otak kami yang error dan tegang sesudah menghadapi ujian tengah semester. Kami yang berangkat berjumlah sekitar 34 orang. Setelah tiket ditangan, kami pun harus menunggu dan menunggu, akhirnya tiba waktunya kami untuk mengucapkan selamat tinggal pada kota Padang, sekitar jam 09:20 WIB.
Didalam kereta api tenyata tak sesuai dengan prediksi. Sebagian dari kami harus berdiri, meskipun dalam keterangan tiket yang kami punya kami mendapat keterangan tempat duduk. Tapi kami tidak terlalu memusingkan hal itu. Status sebagai mahasiswa dan generasi muda yang masih punya banyak tenaga, kami mengalah kapada ibu-ibu dan bapak-bapak yang duduk dikursi kami. Tapi untuk yang sebaya kami tidak toleran, kami gusur saja mereka. #haaha. Ada juga yang duduk bertiga di kursi yang berdaya tamping 2 orang, tapi aku tak melihat mereka merasa risih maupun kesempitan malah sebaliknya, wajah mereka begitu bahagia duduk berdempet-dempetan seperti itu. Tiba-tiba suasana sedikit menjadi tegang, ketika tiba waktunya pengecekan tiket, salah seorang dari kami kehilangan tiketnya, dan itu membuat sebagian dari kami menjadi panik, Karena menurut peraturan yang berlaku jika penumpang tidak mempunyai tiket akan di turunkan di pemberhentian selanjutnya. Tapi, syukurlah, setelah kami menjelaskan kejadian sebenarnya, salah seorang dari kami tersebut diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan.
Satu setengah jam kemudian, kami sampai di Pariaman. Baru turun dari kereta kami disambut oleh kata-kata “pai ka pulau diak? Pulau angso duo atau pulau kasiak? 35 ribu per urangnyo diak?”. Berisik. Ada belasan orang yang menawarkan seperti itu dengan suara lantang di dekat telinga ku. Kami tak begitu menghiraukanya, karena kami belum membuat kesepakatan untuk pergi kepulau tersebut atau hanya akan hilir-mudik saja di sepanjang Pantai Gandoriah.
Setelah banyak pertimbangan , perundingan, dan ketegangan-ketegangan urat leher yang cukup alot, akhirnya mayoritas dari kami memvonis untuk pergi kepulau. Dengan sangat terpaksa yang minoritas harus nurut. Yang ngak punya uang silahkan pinjam, yang phobia laut tinggalkan dulu phobianya itu. Pokoknya semuanya harus ikut! Tanpa terkecuali, demi membuktikan solidaritas, kekompakkan, kepedulian dan kebersamaan.
“Pergi ke pulau dek?”, Tanya seorang ibu-ibu yang sepertinya berkecimpung didunia usaha perjalanan ke pulau wisata tersebut.
“iya buk, berapa ongkosnya buk?” jawab salah seorang dari kami.
“35 ribu dek, itu sudah termasuk asuransi”, jelas ibu tersebut.
“ngak bias kurang buk?, jumlah kami banyak buk! Kurangilah sedikit buk!”. Sela dari rekan kami yang lain.
Terjadi tawar menawar yang panas disini, hingga akhirnya kami sepakat berangkat ke Pulau Angso Duo dengan ongkos Rp. 700.000,-. Setengah demi setengah dari kamipun pergi berlayar kepulau yang kami tuju.
Sampailah kami di tujuan, Pulau Angso Duo. Airnya jenih, berpasir putih, ditambah pemandangan alam yang mengugah mata yang menunjukan kebesaran Tuhan. Ada yang baru sampai langsung berenang, ada juga yang lansung makan, banyak juga yang langsung berfoto di setiap sudut pulau, tak sedikit juga yang termenung dan terdiam, selain itu ada juga yang langsung berkeliling pulau dengan kegirangan. Pokoknya lengkaplah!.
Tak terasa waktu mengharuskan kami untuk segera pulang. Kami menunggu kapal yang akan mengantarkan kembali ke bibir Pantai Gandoriah. Awalnya kami menunggu dengan tenang dan wajah yang girang. Kami menunggu sambil bernyanyi-nyanyi di iringi suara gitar. Mulai dari lagu pop, dangdut, rock sampai religi kami nyanyikan. Dari lagu anak-anak, remaja hingga tua, dari penyanyinya yang sudah tiada, masih hidup, bahkan yang belum lahirpun sudah kami dendangkan. Dari lagu yang tadinya single hingga sudah menjadi album pun sudah kami lagukan. Tapi, kapal yang ditunggu-tunggupu belum juga datang. Kami harus bergegas! Karena kami akan balik ke Padang dengan dengan mnggunkan K.A kembali. Yang tentunya akan berangkat sesuai dengan jadwalnya dan tak akan sudi menunggu penumpangnya. Kami menunggu dan menunggu, panas-panasan di tepi pantai berpasir putih itu. Silih berganti kapal yang datang, tapi tak kunjung jua kapal yang kami tumpangi tadi yang berlabuh.
Kemudian wajah kami yang girang tadi, perlahan berubah menjadi tegang. Waktu terus berjalan. Aku teramat emosi, panic dan ngak bisa tenang. Bagiku jam berapapun aku pulang tak masalah, karena aku orang bumi pariaman. Tapi mereka? Teman-teman ku? Mereka akan menggocek saku lebih dalam jika tidak menggunakan K.A balik ke Padang. Dan aku juga ngak bisa bayangin jika teman-temanku ini dengan sangat terpaksa harus mengungsi ke rumahku. Itu opsi terakhir yang ada di pikiran ku. Aku merasa emosi bahkan bibir kupun tak sanggup untuk tersenyum.
Hingga akhirnya,,
Yang ditunggu-tunggu datang. Pada jam 15:40 WIB, kapal kamipun menjatuhkan jangkarnya. Kami berebutan naik ke kapal. Hingga membuat muatanya penuh dan demi keselamatan, beberapa orang harus turun. Dan sayangnya orang lain dari rombongan kami tidak mau mengalah!, mereka berlagak tidak tau dan mereka bertahan duduk dengan tenang. Gua terkejut seketika, ketika beberapa cowok dari rombongan kami memilih mengalah dan memutuskan turun mununjukkan sikap kedewasaan mereka. Aku melihat jam. Kira-kira terkejar ngak ya waktunya? Ketinggalan kereta ngak ya? Dalam pikiran ku. Tanpa pikir panjang lagi aku memutuskan untuk ikut turun bersana rekan ku lainya sebut saja namanya Sari. Alasan pertama aku dan Sari turun adalah kami tau jalan pulang! Langkah kami ini diikuti oleh beberapa rekan cewek kami yang lain. Dan dalam pikiran ku,  biarlah separo pulang dengan kereta dan separo lagi  pulang dengan bus. Aku mulai pesismis. Tapi ku ngak mau itu terjadi. Aku masih berharap sama-sama pergi, sama-sama datang, sama-sama sakit, sama-sama senang.
Kapal yang membawa sebagian dari kami yang berjumlah sekitar 20-an itupun mengangkat jangkarya.
Aku tidak henti-hentinya melihat jam, aku tak bisa tenang dan panic. Aku merasa orang yang paling bersalah jika teman-teman ku yang masih tertinggal di pulau ini tidak bisa pulang dengan kereta api bersama teman-teman ku yang lain yang sedang menuju bibir Pantai Gandoriah. Sms bertubi-tubi datang, hp tak henti-hentinya berdering untuk saling mengabari perkembangan terkini dari kami yang masih terdampar di Pulau Angso Duo ini. Aku ngak tau apakah teman-teman yang bersama ku ini merasa resah atau tidak.
“kami sudah sampai bro!” isi sms dari salah seorang rekan kami.
“kalian langsung ke stasiun, infokan kepada teman-teman yang ada disana, jangan tunggu kami di pantai! langsung ke stasiun, ingat! Langsung ke stasiun!” isi balasan sms dariku atas instruksi bujang dan teman-teman yang lain.
20 menit kemudian, sekitar jam 16:00 WIB. Kapal yang sama datang menjemput kami. Kami hanya mempunyai waktu 20 menit lagi, sebelum kereta berangkat. Kami bergegas naik. Tetapi diperlambat oleh mereka yang berjalan sok imut dan sok kecantikan. Aku kesal! Padahal kami sudah dikejar waktu. Aku kembali melihat jam, bahkan sertiap menit mataku tak terlepas dari jarum jam. Serta hp ditangan ku yang selau bergetar, tanda ada info dari teman-teman kami yang sudah di daratan.
“Kita gerbong satu! Langsung berlari ke stasiun! Kami akan berusaha melobi petugas K.A , jika waktunya tidak cukup, kami akan turun!” kira-kira beginilah kesimpulan dari semua sms dan semua info yang ku terima. Nafas ku putus-putus. Aku berharap sampai di stasiun tepat waktu.
Belum berlabuh dengan sempurna kapal yang kami tumpangi, pluit kereta api sudah terdengar beberapa kali. Kami hanya mempunyai waktu 1 menit! 1 menit! sebelum kereta berangkat. Kami langsung berhamburan turun. Lompat dari kapal sesegera mungkin. Tak tau apakah itu dangkal atau  dalam. Tak peduli nantinya akan basah atau kering. Yang terpenting kami harus berlari secepat mungkin kestasiun. Jatuh berdiri lagi. Bahkan rasa sakit dari kaki kami pun yang berlari tanpa alaspun tak terasa. Kami berlari  secepat mungkin. Entah bagaimana ekspresi orang-orang sekitar rute yang kami lalui. Kami tak peduli! Kami terus berlari dan berlari dengan heroik.
“cepat! Cepat!” suara masinis yang berteriak sambil melambai-lambaikan tangan dari depan kemudi sembari mengeluarkan sebagian badannya dari jendela. Kami meresponnya dengan berlari lebih cepat.
“cepat! cepat! cepat!” semangat dari teman-teman kami yang sudah duduk di dalam kereta, yang terlihat dari jendela dengan kehisterisan mereka masing-masing.
“Cepat! cepat! cepat!!!!!!” seru petugas K.A sambil membuka pintu kereta bersama seorang rekan kami yang menjadi perwakilan untuk menyambut kedatangan kami.
Belum lurus tegak kami, belum teratur detak jantung kami, kereta pun langsung jalan.
Yesssss…..kami berhasil!!!!! Tepat waktu!!!!!!! Alhamdullillah,,,
Seiring berjalannya kereta api kegembiraan kami pun pecah. Tiba-tiba seorang petugas K.A menghampiri ku dan berkata …
“kenapa kalian terlambat?” suara lantang dan keras tertuju padaku.
“maaf pak, tadi kapalnya terlambat menjemput kami.! Jadi ini bukan mutlak salah kami pak! Salah kapalnya! Lagi pula kami kan ontime pak!” aku mencoba jelasin kenyataanya.
“kenapa kapal yang disalahkan?” lanjut petugas K.A tersebut.
“Eh,, maksud saya salah orang yang bawa kapalnya pak, kenapa saya yang dimarahi pak? Ampun pak! Belum lepas sesak nafas saya ini pak, ditambah lagi bapak marah-marah tambah sesak nafas saya pak! Sekali lagi maaf pak! Maaf!” kemudian petugas K.A itupun pergi berlalu. Aku tak terlalu memasukkan kedalam hati kata-kata petugas K.A itu, karena aku merasa bapak itu tidak terlalu serius dan hanya ingin memberikan peringatan kecil kepada kami. Dan yang terpenting itu tidak membuat ku jera untuk naik kereta api kembali.
 Setelah itu kami melanjutkan kegembiraan kami yang tertunda sesaat tadi. Sungguh luar biasa. Sehingga rusuhlah gerbong yang kami penuhi serta gerbong tersebut menjadi becek dan kotor sekali karena salah seorang rekan kami basah kuyup yang menjadi bukti, betapa luar biasanya perjuang kami turun dari kapal dan berlari sekuat tenaga menuju stasiun.
Dan kami pun sampai dirumah dan dikos dengan selamat!.
Banyak rasa yang aku pribadi rasakan, ada terharu karena kami berhasil pulang dengan penuh perjuangan, rasa bangga juga karena mereka semua terkesan dalam jalan-jalan kali ini ke kampungku. Dan yang paling penting adalah rasa solidaritas dan kekompakkan yang tak ternilai dengan uang dan begitu indah ku rasakan.

Terima kasih atas kekompakkanya! Terima kasih atas kunjunganya ke Pariaman, dan yang terakhir terima kasih untuk kapal wisata yang terlambat menjemput kami, sehingga membuat akhir dari perjalanan kami ini menjadi begitu #Greget. Dan terima kasih telah membacanya.. ^_^   

2 komentar: