24 September 2020

Artikel Seminar Manajemen

 KEBIJAKAN PEMINDAHAN PENGELOLAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS DARI KABUPATEN KE PROVINSI


Oleh

Vovi Tridian Ulfah

Padang

Administrasi Pendidikan

Vovy538@gmail.com 


ABSTRAK


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang membahas tentang pemerintah daerah. Dalam peraturan perundang-undangan ini menghasruskan pemerintah kabupaten melepas kewenangannya dalam  mengelola SMA/Sederajat ke pemerintah provinsi. Pemindahan pengelolaan ini merupakan suatu kebijakan desentralisasi yang bertujuan untuk memudahkan pemerintah provinsi untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi dalam pengelolaan pendidikan, memberikan kesempatan kepada Pemerintah daerah utnuk fokus mengurus Pendidikan SD/SLTP, dan menyemakan penyebaran mutu pendidikan. Namun, kebijakan ini banyak menimbulkan pro dan kontra di berbagai daerah. Baik pada Pemerintah Provinsi sebagai penerima wewenang, dan juga pada Pemerintah Daerah yang melepas wewenang. Meskipun demikian kebijakan ini tetap berjalan sampai saat ini.


Key word : kebijakan, desentralisasi, pendidikan



PENDAHULUAN


Dalam UU No.23 Taahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, telah memberikan perubahan yang cukup signifikan dan banyak disoroti yaitu pemindahan pengelolaan SMA/SMK dari Pemerintah Daerah ke pemerintah provinsi, dalam UU No.23 Tahun 2014 ini memberikan kewenanga kepada pemerintah Daerah untuk mengelola SD dan SM, sementara Pemerintah daerah mengelola SMA/SMk, dan untuk pengelolaan Sekolah Tinggi mnejadi kewenagan pemerintah Pusat. Kebijakan ini sudah resmi dijalankan sejak tahun 2017 dan berlaku di seluruh Indonesia.

Pengelolaan SMA/SMK yang dulu mnejadi kewenangan daerah dibawah UU No.32 tahun 2004 yang sudah dijalankan kurang lebih 10 tahun itu kemudian menimbulkan berbagai permasalahan, Khususnya pada masalah Desentralisasi Otonomi di Daerah, yang menjadikan beberapa daerah terlihat unggul daripada daerah lain dan menjadikan daerah-daerah menjadi sulit dikoordinasikan. Dan di khawatirkan akan menimbulkan rendanya pemerataan pendidikan.

Pemindahan pengelolaan ini sebelumnya banyak menuai pro dan kontra, ada Daerah yang setuju dan tidak menghadapi kendala sama sekali tentang kebijakan ini, namun ada beberapa darah yang meminta agar kebijakan ini tidak dijalankan seperti Surabaya, Tanggerang dan daerah lainnya, yang bahkan sampai memebawa permasalahn ini ke Mahkamah Konstitusi. Alasan daerah-daerah tersebut cenderung sama yaitu karena sudah merasa sanggup untuk mengelola SMA/SMK dan bahkan ada daerah yang telah menggratiskan pendidikan hingga tingkat SLTA.namun, MK tidak mengindahkan gugatan tersebut dan menilai bahwa peralihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK itu sudah tepat dan berdasarkan pertimbangan yang matang serta tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Pemindahan kewenagan ini juga menimbulkan permasalahan pada Pemerintah daerah yang menjalankan kewenangan tersebut, seperti pada masalah Penggratisan SMA/SMK yang dulunya dilakukan oleh pemerintah daerah, namun sudah tidak bisa dijalankan oleh Pemerintah Provinsi, deperti pada Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari 11 kabupaten dan Kota sudah 9 Daerah yang menggratiskan SMA/SMK dan setelah kebijakan pengalihan kewenangan resmi dilaksanakan Pemeritah Provinsi sudah tidak mampu melanjutkannya. (Habibie, 2017)

Pengubahan kewenangan ini juga akan mengubah beberapa struktur organisasi pada pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi, pada pemerintah Daerah tentu akan kehilagan beberapa fungsi dan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh bebrapa orang,dan setelah adanya pemindahan kewenangan. Begitu juga pada pemeintah Provinsi yang akan mengubah struktur organisasi dengan adanya tambahan tugas dan fungsi terhadap kewenagan yang baru, dan adanya perubahan ini akan mememrlukan tambahan sarana dan prasarana, pengubahan tenaga kerja, dan juga pendanaan yang akan menimbulkan permasalahan baru pada Pemerintah Provinsi dan kehilangan pada Pemerintah Daerah. 

Berdasarkan banyaknya pro dan kontra pengalihan kebijakan pengelolaan SMA/SMK, artikel ini akan membahas tentang Pengaruh pemindahan pengelolaan SMA/SMK dari Pemkod ke Pemprov.


TINJAUAN TEORI

KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Menurut KBBI kebijakan adalah kemahiran, kepandaian, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak, sedangkan dalam kamus Bahasa Inggris keijakan diartikan sebagai (Policy) yang dimaksudkan untuk aturan, kebijaksanaan, peratutan,polis)

Kebijakan (Policy) berdasarkan asal katanya yaitu berasal dari bahasa  Yunani, yaitu “polis” yang berarti (city) atau (kota). berdasaran maknanya, kebijakan berkaitan dengan suatu gagasan/ide yang berkaitan dengan organisaisi dan sama halnya juga dengan pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai tujuan secara maksimal.

Menurut Nichols, kebijakan ialah suatu keputusan yang sudah melalui pertimbangan yang matang dan merupakan keputusan yang tidak bersifat   rutin atau terprogram atau berkaitan dengan aturan-aturan keputusan. Sedangkan menurut Hough (1994) kebijakan ialah rangkaian tujuan, rencana dan usulan kegiatan-kegiatan, keputusan-keputusan yang nantinya akan menghasilkan peraturan atau perundang-undangan. (academia.com)

Jadi dapat disumpulkan bahwa kebijakan adalah rangkaian tujuan dan rencana yang dilahirkan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang mengatur dan mengikat orang-orang yang berada dibawah kebijakan tersebut.

Sementara itu, kebijakan pendidikan adalah sekumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan yang telah mencakup tujuan pendidikan, dan proses mencapai tujuan tersebut. Kebijakan pendidikan juga dapat diartikan sebagai aturan atau petunjuk yang ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasioanal yang dijabarkan dengan berbagai kebiajakan-kebijakan pendidikan.


DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Pada hakikatnya Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan pemerintah-pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mnegatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia ( UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 angka 7)

Desentralisasi menurut Smith, 2012 dalam (Habibie, 2017) ialah sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan (Power) dan kewenangan (authority) yang diserahkan melalui suatu hierarki secara geografis dalam negara dan juga berkenaan dengan institusi dan proses yang memungkinkan keberlangsungan pembagian tersebut.

Dalam dunia pendidikan, Desentralisasi merupakan suatu hal yang penting, terutama dalam pengembangan dunia pendidikan saat ini, ada tiga kategori dalam pembagian desentralisasi pendidikan, yaitu :

Desentralisasi pada tingkat sistem ; yaitu yang diartikan sebagai perubahan dalam pengambilan keputusan, dari tingkat nasioanal ke tingkat lokal.

Desentralisasi pada tingkat organisasi ; yaitu yang diartikan sebagai langkah-langkah pengambilan keputusan dari tingkat pusat ke tingkat sekolah

Desentralisasi pasar ; yaitu yang mengacu pada partisipasi orang tua peserta didik dalam mengambil keputusan.

Penerapan desentralisasi pendidikan ini dianggap menjadi jalan untuk memecahkan permasalahan pendidikan yang rumit terutama pada negara berkembang seperti indonesia.


PEMBAGIAN WEWENANG

Dalam desentralisasi otonomi daerah, pembagian kewenangan antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang sangat penting untuk membangun kesesuaian peraturan-peraturan yang nanti akan diterbitkan.

Menurut Wolman dalam (Habibie, 2017)  ada dua kriteria yang diguanakan dalam pembagian wewenang. 1) dari segi efisiensi ada atau tidaknya manfaat dari skala ekonomi, ada tidaknya eksternalitas,baik positif maupun negatif, disparitas ekonomi dan kapasitas administrasi, variasi preferensi masyarakat terhadap public goods, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi makro. 2) yang  kedua ialah pengelolaan pemerintah yang mencakup kepekaan, akuntabilitas, kemajemukan sosial dan budaya, serta partisipasi politik.

Pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah diatur dalam Undang-Undang, yaitu dalam UU Nomor 22 tahun 1999 dalam pembagian wewenang/urusan dilakukan dengan menerapkan prinsip Residual Fungtion, yaitu dengan pembagian yang dilakukan dengan cara kewenangan terlebih dahulu menjadi milik pemerintah pusat dan sisanya menjadi wewenang pemerintah daerah, namun UU tersebut telah digantikan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 23 tahun 2014 yang menggunakan prinsip concurrent function termasuk perubahan istilah wewenang/kewenangan menjadi urusan. 


METODE PENELITIAN

Artikel ini disusun menggunakan metode desktiptif kualitatif, dengan melakukan analisis data secara sekunder yang didapatkan dari beberapa literatur yang didapatkan dengan cara online.


PERMASALAHAN

Ada beberapa permasalahan yang timbul ataas kebijakan ini, baik yang masih menjadi ke khawatiran dan yang sudah dirasakan oleh masyarakat, diantaranya adalah :

Sulitnya melakukan kooordinasi antara sekolah-sekolah dengan pemerintah provinsi, karena terhalang akses yang kurang memadai, dan jarak yang cukup jauh untuk ditempuh  (Nasution, 2016).

Dengan adanya regulasi tersebut maka penyelenggaraan pendidikan geratis yang sudah dijalankan di kabupaten tidak dapat dilanjutkan lagi oleh pemerintah provinsi karena pendanaan yang tidak mencukupi.

Sulitnya melakukan pengawasan oleh pihak pemerintah provinsi ke setiap sekolah-sekolah. Seperti yang diketahui, Indonesia memiliki wilayah yang luwas dan akses untuk menuju beberapa tempat di daerah belum bagus, sehingga mempersulit melakukan pengawasan, dan bahkan ditakutkan keengganan penerintah provinsi untuk mengunjungi sekolah yang jauh dari jangkauan, sehingga tujuan awal untuk menyamaratan pendidikan malah tidak tercapai atau semakin memburuk.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2O14 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan pendidikan menengah yang semula menjadi urusan pemerintah daerah kabupaten/kota dialihkan menjadi urusan pemerintah daerah provinsi maka PNS Kabupaten / Kota beralih menjadi PNS Pemerintah Propinsi (Herawati, 2017). Hal tersebut akan menimbulkan permasalahan baru yaitu terkait dengan pengelolaan keuangan di pemerintah Provinsi, banyaknya tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, siswa, sarana dan prasarana sekolah yang akan di atur, akan menimbulkan berbagai permasalahan juga adanya peluang besar terjadinya kecurangan seperti Kolusi,Korupsi dan Nepotisme.


Berikut adalah beberapa tuntutan yang telah dilakukan oleh daerah :

Permohonan perkara Nomor 30/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Walikota Blitar Samhudi Anwar yang memandang dari sisi kepastian kebijakan pengelolaan pendidikan. Kerugian inkonstitusional yang secara langsung, dialami oleh Walikota Blitar antara lain:

Tidak dapat menetapkan kebijakan pendidikan gratis di kota Blitar; (2) ketidak jelasan penetapan kebijakan pendidikan di Kota Blitar; (3) tidak dapat menyelenggarakan pendidikan menengah, sebagai bagian dari otonomi seluas-luasnya; (4) tidak dapat mengalokasikan dana untuk pendidikan menengah; dan (5) tidak dapat mewujudkan kurikulum dengan muatan lokal.

Seperti berita yang dikutip dari beritajati.com walikota Surabaya Tri Rismaharani ingin pengelolaan SMA/SMK kembali ke pemerintah Kota Surabaya. Walikota Risma mengatakan semenjak beralihnya wewenang pengelolaan SMA/SMK ke pemerintah provinsi Jawa Timur, sudah banyak upaya yang beliau lakukan agar pendidikan tetap gratis, bahkan hingga ke Kemendagri, namunn berdasarkan surat dari Kemendagri menyebutkan ppengelolaan itu bisa dilakukan, tapi harus dibarengi kewenangan dengan pelimpahan. 



HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada dasranya semua kebijakan yang telah dikeluarkan tentu sudah melalui proses yang panjang dan berbagai kajian seelumnya, begitu juga dengan penerapan UUNo.23 tahun 2014 tersebut. Pemindahan wewenang pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah daerah ke pemerintah provinsi harusnya dilakukan dengan cara yang baik dan secara seimbang, agar sama-sama mampu menjalankan tugas secara maksimal. Penyelenggaraan kebijkanan ini pada dasarnya adalah ingin meningkatkan penyamarataan kualitas pendidikan di tingkat SLTA dan memfokuskan daerah untuk mengembangkan SD dan SMP agar mendapatkan kualitas yang maksimal.

Perubahan pembagian urusan pemerintah terkait dengan kewenangan manajemen pendidikan menengah dapat dilihat pada bagan dibawah ini: Bagan pemetaan urusan pemerintah manajemen pendidikan 

no

UU no. 32 th.2004

UU bo. 23 th 2014


1

Pusat :

Penetapan SNP

Pengelolaan DIKTI

Pusat :

Penetapan SNP

Pengelolaan DIKTI


2

Pusat :

Penetapan SNP

Pengelolaan DIKTI

Provinsi :

Pengelolaan pendidikan khusus

Pengelolaan Dikmen


3

Kabupaten/kota :

Pengelolaan PAUDNI

Pengelolaan Dikdas

Pengelolaan Dikmen

Kabupaten/kota :

Pengelolaan PAUDNI

Pengelolaan Dikdas



Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat dalam mengontrol dan menjalankan kebijakan ini agar tepat pada sasaran :

Mengkomunikasikan kebijakan terlebihdahulu, penting bagi pembuat kebijakan untukk mensosialisasikan kebijakan  terlebih dahulu sebelum kebijakan tersebut diterapkan terlebih-lebih apabila kebijkana tersebut melibatkan banyak orang dengan berbagai latar belakang, maka kebijakan yang bersifat teknis perlu disosialisakan dan diberikan pelatihan terlebih dahulu, agar persepsi pembuat kebijakan di interpretasikan sama  oleh orang-orang yang menjalankan kebijakan tersebut.

Penguatan tujuan pembuatan kebijakan. Ketika kebijakan disusun, bisa saja ada aktor-aktor yang memiliki tujuan, baik untuk kepentingan kelompok maupun kepentingan pribadi. Sehingga, terjadi tarik menarik kepentingan didalamnya, dan akhirnya kebijakan yang dibuat bukan untuk kebermanfaatan masyarakat luas, namun hanya untuk kaangan tertentu. Oleh karena itu, perlu untuk memastikan apakah kebiajakn sudah sesuai dengan kepentingan masyarakat yang sebenarnya.

Melakukan pengawasan yang melekat, pengawasa sangat diperlukan dalam setiap kegiatan, termasuk pada pemindahan pengelolaan SMA/SMK, karena akan ada sistem yang berubah dikedua belah pihak, baik pada pemerintah daerah yang biasanya mengerjakan tugas dan kemudian tidak lagi, dan juga pada pemerintah provinsi yang memiliki tugas tambahan, perlu adanya pengawasan terkait pelaksanaan perubahan yang dilakukan.

Melakukan pemilihan pegawai dengan kualifikasi sesuai yang dibutuhkan, SDM yang handal dibidangnya tentu akan bisa bekerja secara maksimal, maka diperlukan tahapan penerimaan pegawai yang sesuai kebutuhan.

Pengguanaan sarana dan prasarana yang terpilih, seperti yang dikatakan Hoogeworf (Silabus Web Id) pelaksanaan kebijakan dapat didefenisikan sebagai penggunaan sarana dan prasarana yang dipilih. 




KESIMPULAN

Kebijakan desentralisasi pendidikan dilakukan dalam rangka mendekatkan pelayanan pendidikan ke masyarakat. Adanya pengalihan kewenangan manajemen pendidikan menengah dari kabupaten/kota ke provinsi berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 merupakan salah satu kebijakan desentralisasi pendidikan untuk memudahkan pemerintah provinsi dalam menyeragamkan kebijakan pengelolaan pendidikan. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas kebijakan pendidikan dalam rangka good governance di bidang pendidikan. Penerapan kebijakan ini cukup banyak menimbulkan pro dan kontra dkalangan pemerintahan baik yang melepas dan menerima wewenaang, namun perlu digaris bawahi bahwa kebijakan yang telah ditetapkan dan telah banyak di kaji sebelumnya kebermanaatannya perlu sama-sama dilaksanakan secara maksimal, agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat etrcapai, dan apabila tidak tercapai amak diketahui dimana letak kesalahannya. Oleh karena itu, perlu dukungan dari seluruh pihak unuk mensukseskan program yang telah disahkan.






DAFTAR PUSTAKA


Habibie, F. (2017). TRANSISI PERALIHAN KEWENANGAN BIDANG PENDIDIKAN SMA/SMK DI PROVINSI BANTEN. SAWALA, 5(2), 11–22.

Herawati, N. R. (2017). ANALISIS POLITIK ALIH KEWENANGAN PENGELOLAAN GURU SMA/SMK DARI PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA KEPADA PEMERINTAH PROVINSI. Jurnal Ilmu Sosial, 16(2), 72–93.

Nasution, M. (2016). Pengalihan Kewenangan Pendidikan Menengah ke Pemerintah Provinsi. Buletin APBN, 1(16).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar