20 Maret 2015

MENTARI SETELAH HUJAN


MENTARI SETELAH HUJAN
by Loli Via Handayani 
Aku Rio dan aku benci ibuku. Kenapa? Karena kami miskin dan dia pincang. Aku malu punya ibu seperti dia. Dia hanya seorang penjual bengkuang. Kalian bisa melihatnya berjualan di tepian trotoar jalan. Ayahku entah kemana,sejak kecil aku hanya tinggal bersama ibu, dan itu semakin membuatku benci atas kehidupanku. Pagi hari ibu sudah membersihkan rumah kami, saat aku terjaga nasi dan beberapa potong tempe goreng sudah tersedia di meja, dan ibu sudah tak ada di rumah dia sudah pergi berkeliling menawarkan jasa mencuci. Siang hari sampai petang dia berjualan bengkuang. Malam hari dia menawarkan jasa menyetrika pada tetangga.
Aku tak pernah mengerti kenapa hidupku sesulit ini. Aku sering berandai-andai saat sendiri. Andai aku orang kaya, andai ibuku tidak pincang, andai kami tidak miskin mungkin hidupku tak seberat ini. Di sekolah aku biasa diledek teman-temanku karena memiliki ibu pincang.
“Rio ibu kamu pincang ya?” “ Kasian banget sih kamu Rio”
“Emang kamu gak malu punya ibu kaya gitu? Pincang, jualan bengkuang, miskin lagi!” “hahahahahaa….”
Karena itu aku malu punya ibu seperti dia, aku tak pernah mengizinkan dia datang kesekolah, dia tak perlu memanggilku saat berpapasan di jalan. Aku malu memiliki ibu seperti dia. Ibu tau kalau aku tak menyukainya, aku pernah menghardiknya saat di sekolah aku diledek teman-temanku. Ibu hanya diam saja saat aku menghardiknya, itu membuatku puas mengatakan apa yang ada dipikiranku. Aku tak peduli telah menggores hatinya yang tua dengan perkataanku, menurutku dia yang menyebabkan kesulitan dihidupku. Aku tak menyesal.

Aku bertekad akan merubah hidupku. Aku akan belajar keras. Aku mendapat beasiswa saat di Sekolah Menengah Pertama, saat ini aku harus berusaha untuk mendapat beasiswa ke Australia. Aku akan memulai hidup baru di sana. Meninggalkan nasib burukku disini.
Desember 2009, aku berangkat ke Australia. Aku akan melanjutkan kuliahku di sana. Aku diterima disalah satu Universitas ternama di Australia, aku masuk bidang kedokteran bagian ahli bedah jantung. Aku berangkat, dengan hanya mengatakan kepada ibu untuk tidak mencariku. Ibu hanya menangis saat itu, dia memelukku. Tekadku sudah bulat, aku tak peduli dengan ibuku, aku tinggalkan dia sendiri, aku pergi dan tak membawanya serta bersamaku.
Beberapa tahun berlalu, aku selesai melewati masa kuliahku, mati-matian aku berjuang demi gelarku. Aku bekerja paruh waktu dan sebagainya untuk menyambung hidup. Ibuku? Aku tak pernah ingin mengingatnya. Sekarang aku sudah menikah, mempunyai seorang putra, aku dan istriku bekerja di rumah sakit yang sama. Selama aku di Australia aku tak pernah pulang Indonesia, bagiku tak ada alasanku untuk pulang, hanya akan mempermalukanku saja.
Sampai tiba undangan lewat pesan singkat dari teman seangkatanku di Sekolah Menengah Atas, mereka akan mengadakan reunian. Aku tertarik untuk pulang ke Indonesia, aku ingin mereka semua, mereka yang menghinaku melihat diriku yang sekarang. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
Seminggu lalu aku tiba di Indonesia, aku tak membawa serta istri dan anakku, aku tak mau nanti ada yang member tau mereka tentang ibu. Aku masih tak menerimanya sebagai ibuku. Ya! Aku tetap malu dan membencinya. Aku sama sekali tak ingin bertemu ataupun mengunjunginya. Hariku di Indonesia ku isi dengan berkeliling kota, menikmati apa-apa saja yang ingin kunikmati di sini. Aku menikmati masa jaya ku ini.

Hari ini adalah hari diadakannya reuni. Saat diperjalanan aku melihat seorang ibu tiba-tiba jatuh tergeletak di tepi jalan. Awalnya aku tak peduli, tapi naluriku sebagai seorang dokter tergugah untuk menolongnya. Aku hentikan mobilku, dan turun untuk melihat keadaannya.
Aku dekati tubuh tua renta dengan pakaian lusuh tak berwarna, badannya kurus kering, uban sudah menguasai kepalanya. Aku balikkan tubuh tua itu, dan betapa terkejutnya aku memandang wajah senja di depanku.
Ya! Dia ibuku. Di dekatnya tergeletak saputangan kusam bernoda darah. Sedangkan tangannya menggenggam  secarik kertas.
Anakku Rio…
Ibu sangat rindu padamu. Sudah bertahun-tahun ibu tak melihatmu nak. Bagaimana keadaanmu? Ibu ingin sekali menemuimu, tapi ibu tau kamu akan malu nantinya. Maafkan ibu yang tak sempurna ya nak, ibu hanya membebanimu.
Dulu, Rio kecil ibu yang manis ingin sekali makan ice cream, saat itu ibu sibuk mencuci sehingga lalai memperhatikanmu yang telah sampai di tengah jalan mengejar penjual ice cream. Saat itu sebuah mobil melintas cepat. Ibu lari menyelamatkanmu, tapi ibu tak bisa menyelamatkan diri ibu sendiri, kecelakaan itu membuat kaki ibu cacat seumur hidup. Tapi ibu bahagia Rio kecil ibu selamat. Meski kaki ibu cacat.
Ibu bahagia bisa membesarkanmu dengan jerih payah ibu sendiri. Ibu bangga bisa menyekolahkanmu. Ibu mencintaimu lebih dari apapun. Ibu sangat menyayangimu. Engkau adalah harta ibu yang paling berharga. Maafkan ibu karena menjadi ibu yang tak sempurna, maafkan ibu karena kita miskin, maafkan ibu karena tak bias membahagiakanmu.
Tapi Rioku,,,,Ibu adalah orang yang paling mencintaimu di dunia ini

Tangisku semakin pecah saat membaca surat itu. Aku meraung sebisaku,  tapi terlambat, Tuhan takkan mengembalikannya padaku. TBC yang dideritanya telah merenggut nyawanya. Dia mengetahui aku akan pulang ke Indonesia, ia berniat menemuiku  dia tau aku akan datang ke reuni itu.
Saat itu terbayang rentetan memori wajah senja itu di ingatanku. Dia yang memeras keringatnya untuk menghidupiku, dia yang bekerja keras siang dan malam untukku, dia yang rela tak tidur nyenyak hanya untuk diriku, dan masih banyak curahan cintanya yang tak terlihat di mataku. Aku peluk erat tubuh renta itu, aku dekap erat-erat.
“ Ibu!!! Aku mohon…bangunlah! Ini aku Rio bu…aku mohon”
“Andai aku masih punya kesempatan ibu!!!”
“Andai aku masih punya kesempatan, aku akan menjaga ibu seumur hidupku, tolong ibu, aku mohon bangunlah!!”
Ibuku tak bergerak, wajah tuanya tersenyum, kehangatannya mulai menghilang. Dia telah pergi meninggalkanku. Aku tak kuasa menahan dukaku, aku meraung seperti orang gila, kusebut-sebut namanya, tapi hanya keheningan yang tersisa.
Ibu, maafkan anakmu yang durhaka ini. Ampuni aku yang tak tahu diri, tak ada yang bisa kulakukan untuk membalas budimu, kasihmu, cintamu, tak ada yang pantas untuk membayar semuanya. Engkau rela mengorbankan nyawamu untukku, engkau serahkan hartamu demi aku, kau besarkan aku dengan cintamu. Ibu, andai aku menyadari kau adalah air di tengah gersang, cahaya di tengah kegelapan, mentari setelah hujan, mungkin aku akan lebih tau maknamu sebagai cinta sejatiku.